[Event]
Di Bandung, ada bioskop alternatif yang mampu menampung kurang lebih 50 penonton. Iya, teater kecil ini bernama Indi Cinema Bandung dan cukup rutin memutarkan film-film Indonesia. Selain itu sering juga menjadi tempat acara yang berhubungan dengan perfilman.
Salah satunya acara di hari Minggu, 22 Mei 2017, kita beruntung sekali bisa menonton film pendek End Of Black Era, sekaligus pemutaran dua film dokumenternya. Ini adalah sebuah film fiksi fantasi buatan dalam negeri, yang mempunyai visi untuk mempertahankan budaya Indonesia. Acara dimulai dengan menonton film kemudian dilanjutkan dengan diskusi membahas dari segi sinematografi dan kostum, juga perihal lainnya sesuai pertanyaan yang diajukan penonton.
Sebelum acara dimulai, di bagian registrasi, sudah tersedia tumpukan baju dengan warna-warna alam yang harus kita gunakan selama acara berlangsung. Bajunya unik, semacam outer berlengan pendek, kebanyakan bahannya kulit ditambah bahan lain juga. Tapi yang jelas, ini baju keceee abeees! Kita sempet ingin minta tapi gak dibolehin (yaiyalah woy!) hahaha.
Dua film dokumenter yang berdurasi masing-masing kurang lebih 5 menit, membahas dua pengrajin lokal yang kurang mendapat perhatian dari sekitar (termasuk kita).
Pak Zubaidi, pengrajin tembaga yang berasal dari Kota Gede. Beliau adalah salah satu pengrajin yang merasa hasil pekerjaannya minim perhatian pemerintah padahal apa yang sudah beliau kerjakan sangat membantu perekonomian masyarakat. Beliau merasa apa yang diperhatikan pemerintah hanyalah hasil akhirnya saja, sesuatu yang sudah terpajang di etalase. Sedangkan pengrajin-pengrajin seperti dirinya hanya bisa bekerja dan memutar otak, karya apalagi yang harus dihasilkannya. Ditambah lagi, harga bahan mentah setiap hari mengalami perubahan harga. Sampai saat ini, beliau bertahan tidak menggantungkan diri dengan orang-orang “besar” dilua sana.
Selain pengrajin tembaga, ada juga Mbah Reso, pengrajin tenun lurik yang berusia 95 tahun. Beliau adalah satu-satunya yang masih menenun dengan cara tradisional, bukan menggunakan mesin – yang dimana pengerjaanya lebih mudah dan cepat. Kain tenun ini bisa diselesaikan dalam waktu 5 hari dan harga jualnya hanya 20rb perlembar. Oke, mari kita ulangi, 20rb perlembar! *sad*. Mbah Reso memang menjadi satu-satunya, tidak ada lagi penerus yang mau melanjutkan menenun dengan cara tradisional. Anak perempuannya pun lebih memilih menggunakan mesin karena dirasa lebih efisien. Tapi, percayalah bahwa hasil tenun lurik dari Mbah Reso lebih bagus dari yang menggunakan mesin.
Setelah menonton dua film dokumenter, dilanjut dengan film pendek End Of Black Era yang dimana – beberapa pemainnya (villagers) menggunakan kostum yang kita gunakan saat itu. Amazing! Rasanya seru sekali bisa menggunakannya secara langsung. Film berdurasi 12 menit ini bener-bener bikin penasaran karena kita ngerasa “aaah masa udahan!” padahal lagi menikmati filmnya. Iya, menikmati. Itu artinya, film ini membuat kita sangat antusias. Gimana enggak, sinematografinya cakep banget, jalan ceritanya original.
https://www.instagram.com/p/BUMMhoqlfir/
Film bergenre fiksi fantasi ini mengisahkan tentang seorang tokoh utama, penduduk desa bernama Neewa yang sedang dikejar-kejar oleh Enemy karena Neewa ini membawa sebuah Talisman yang sepertinya di dalam cerita keseluruhan bisa menjadi jimat penyelamat atas musibah atau kejadian yang menimpa para villagers di desa antah berantah tersebut. Namanya juga film pendek ya, jadi masih banyak kejanggalan yang dirasa oleh penonton termasuk kita. Yaitu dari segi cerita yang pasti sengaja dibuat menggantung di akhir karena film ini dibuat untuk perkenalan ke dunia End of Black Era – The Incident.
Salah satu yang unik dari film ini adalah penggunaan bahasa. Iya, bahasa yang digunakan dalam film ini disebut bahasa angin. Terinspirasi dari bahasa Rusia, dikerjakan oleh ahli bahasa dari Indonesia dan bukan hanya membuat bahasa, tetapi membuat hurufnya juga! Gilaaaak, siapa yang bakal nyangka, film bergenre fiksi fantasi sekeren ini dibuat oleh anak negeri sendiri bukan lagi buatan industri film di luaran sana.
Masuk ke acara diskusi film, acara ini membahas perihal sinematografi dan kostum. Pembahasnya langsung oleh Yuris Aryanna dan Yongki Ongestu.
Yuris Aryanna, owner dari Yuris Laboratory – seorang costum designer muda yang peduli akan budaya Indonesia. Karakter yang ada di film ini dibuat oleh Yuris sejak duduk di bangku SMA dan tidak pernah terpikirkan untuk benar-benar bisa mewujudkannya. Dengan membuat film ini, Yuris menginginkan untuk bisa mengangkat nilai pengrajin lokal – yang semakin terlupakan.
Yongki Ongestu, owner dari Aegnima Picture – seorang filmmaker yang juga peduli akan budaya Indonesia dan membantu mewujudkan sketsa-sketsa khayalan Yuris ketika SMA, yang pada akhirnya menjadi satu kesatuan film pendek dengan sinematografi yang apik. Melalui film pendek End of Black Era garapannya ini, keduanya mengharapkan bisa meningkatkan awereness para filmmaker (dan penonton) terhadap salah satu detail terpenting sebuah film, yaitu dari segi costume design.

Karakter dan kostum yang dibuat oleh Yuris, tidak dibuat asal-asalan. Dari kostum, makeup bagi setiap karakternya, bahkan aksesoris yang digunakan para pemain, semuanya dibikin dengan penuh makna dan buatan Indonesia! Salah dua nya adalah, buatan Pak Baidi dan Mbah Reso. Rasanya, kolaborasi apik dari kedua sineas muda ini sangat perlu diapresiasi, gimana enggak, ketika sineas lain mengedepankan hasil, kekuatan cerita atau akting dari pemainnya. Mereka memberikan hal-hal baru, bahkan mereka ingin mengangkat pengrajin lokal agar tetap bernilai dimata masyarakat.
Sinematografi nya pun, digarap dengan sangat serius oleh Yongki, bagaimana warna-warna yang akan ditampilkan di layar harus sesuai dengan karakter dan kostum yang dibuat oleh Yuris. Hasil akhir yang “cuma” 12 menit ini gak bisa dibilang cuma! Ada proses 8 bulan dengan pengeluaran ratusan juta untuk mengenalkan film ini kepada masyarakat yang dibaliknya turut mengangkat budaya dan pengrajin lokal yang kurang terperhatikan.
Dalam film ini, mungkin kita baru mengenal dua nama pengrajin, gimana jadinya kalau lebih banyak pengrajin lainnya yang turut kita lestarikan karyanya? Pasti akan ada banyak nama-nama selain Mbah Reso dan Pak Baidi yang bisa terangkat ya!
Terimakasih untuk karyanya, Mba Yuris Aryanna dan Mas Yongki Ongestu. Semoga film End Of Black Era ini berlanjut menjadi film layar lebar dengan penonton yang antusias. Untuk teman-teman yang ingin peduli terhadap negeri sendiri, yuk mulai dengan sesuatu yang bisa kita lakukan. Mengutip kata-kata saat acara kemarin ;
“berkarya saja dulu, mulai saja dulu, tidak perlu menunggu sempurna”.
Lokasi :
Indi Cinema Bandung (@indicinemabandung)
Gedung Bale Motekar Unpad lantai 3
Jalan Banda no 40, Bandung
Kepoin film ini disini >> @endofblackera (banyak behind the scene nya dan ketje ketje!)
Penulis: Fasya
Tambahan foto: Ganjar Wijaya
Leave a Reply